Dulu Primadona, 4 Bioskop Ini Sekarang Jadi Kenangan

Muvila.com – Perfilman Indonesia pernah begitu berjaya pada era 1970-an. Kondisinya kala itu pun masih menopang bagi tegaknya industri film lokal. Soalnya, aktivitas menonton film di bioskop masih menjadi pilihan utama untuk hiburan bagi masyarakat lantaran belum adanya bentuk lain medium audio visual, kecuali televisi yang hanya memuat satu saluran, yaitu TVRI. Itu pun gambarnya masih hitam-putih.

Tak heran jika keberadaan gedung bioskop para era tersebut sangat menghibur masyarakat. Gedung pertunjukan film pun bermunculan di mana-mana, baik di kota besar maupun kota kecil. Dan, hampir setiap gedung bioskop dipadati oleh banyak penonton.

Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu gedung bioskop pun berguguran. Penyebabnya beragam. Mulai dari digerus kemajuan teknologi, maraknya film bajakan, monopoli distribusi film, kalah bersaing dengan bioskop jaringan, dan lainnya. Mengutip beberapa sumber, berikut kisah-kisah gedung bioskop non-jaringan yang kehilangan penontonnya.

1. Bioskop Tua Jakarta

Mengutip Kompas, dua gedung bioskop di kawasan Senen, Jakarta Pusat, yaitu Mulia Agung Theater dan Bioskop Grand kini terlihat sepi pengunjung dan ditinggali banyak kecoak dan tikus. Kondisinya tak terurus. Padahal, kedua bioskop itu pernah menjadi saksi era keemasan perfilman Indonesia pada tahun 1970-1980-an.

Menurut cerita salah seorang warga yang tinggal di daerah tersebut, dulu nasib kedua bioskop tersebut tak seperti itu. "Dulu ramai dikunjungi warga. Ada air mancur di tengah, ada permainan, ada penjagaan dari satpam yang ketat. Pokoknya, nggak kayak sekarang," kenangnya, seperti mengutip Kompas.

Pedagang di sekitar lokasi bioskop ini pun menambahkan, para pengunjung yang datang ke bioskop tersebut makin berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan, dalam sehari, hanya ada 10 motor yang terpakir di bioskop tersebut.

Salah seorang pengurus bioskop bernama Husein mengatakan, penyebab sepinya dua bioskop tersebut adalah banyaknya DVD film (bajakan maupun orisinal) yang dapat dibeli sendiri. Ketiadaan film baru juga menyebabkan jumlah penonton berkurang.

2. Bioskop Yogyakarta

Setelah melalui era keemasan pada tahun 1970-1980-an, Bioskop Permata akhirnya stop beroperasi pada 31 Juli 2010. Mengutip National Geographic, film terakhir yang diputar berjudul Gairah dalam Pergaulan yang ditonton tak lebih dari 10 orang.

Bioskop yang pernah menjadi primadona warga Yogyakarta ini sudah berdiri sejak tahun 1946 di Jalan Sultan Agung Yogyakarta. Keberadaannya saat itu disambut meriah. Sebanyak 350 kursi yang dimilikinya selalu ramai dipenuhi penonton. Namun, memasuki tahun 1990-an, kondisinya mulai terpuruk menghadapi persaingan dengan medium hiburan lainnya, seperti televisi dan video rumahan.

Lalu, pada tahun 2010, ia resmi tutup. Pak Tiksan yang sudah tinggal bertahun-tahun di seberang bioskop mengatakan bahwa kemungkinan besar penutupan Bioskop Permata akibat persaingan dengan bioskop baru. "Sekarang ada XXI yang dapat film unggulan," katanya.

Yogyakarta sendiri sekarang sudah menjadi surganya penggila film. Gedung-gedung bioskop sudah tersebar di mana-mana.

3. Bioskop Bandar Lampung

Pada tahun 1970-1990-an, Bandar Lampung bisa dibilang merupakan salah satu surganya penikmat film. Sebab, ada 10 bioskop yang memadati Kota Gajah itu. Sayangnya, masa hidup sederet bioskop tersebut tak begitu lama. Satu persatu bioskop harus gulung tikar.

"Yang paling ramai kala itu adalah Bioskop Raya yang bersebelahan (adu belakang) dengan Bioskop Sederhana di Pasar Bawah. Sekarang lokasinya jadi Ramayana itu," kata seorang warga setempat bernama Supriyatin, seperti dilansir Tribunnews Lampung.

Pada masa itu, lanjutnya, penonton film di Bioskop Raya dan Sederhana selalu membeludak. Semua orang berebut tiket, bahkan bagi penonton yang tidak mendapatkan tiket rela membeli pada calo. Kala itu, harga tiket termurah di Bioskop Sederhana masih sekitar Rp 1.500. Sedangkan bioskop lain seperti Raya mematok harga Rp 2.000. Itulah yang membuat bioskop tersebut menjadi primadona di kalangan masyarakat menengah ke bawah, kata Supriyatin.

Namun, memasuki tahun 1990-an, bisnis bioskop di Bandar Lampung meredup. "Munculnya stasiun televisi baru, pembangunan, dan yang tidak bisa dielakkan adalah munculnya teknologi VCD menjadi penggusur bioskop. Alternatif hiburan baru ini sedikit demi sedikit mengancam, hingga yang terakhir yang terus berusaha bertahan adalah bioskop Bambu Kuning itu dengan film-film lawas yang selalu diputar," lanjut Supriyatin.

Seiring berjalannya waktu, bisnis bioskop di Bandar Lampung kini dikuasai oleh jaringan Cineplex 21.

4. Bioskop Purworejo

Pada masa keemasan perfilman Tanah Air, sekitar tahun 1970-an, gedung-gedung bioskop tidak bernaung di mal-mal seperti sekarang. Mereka menyebar di kota besar, bahkan sampai kecamatan. Mengutip Suara Merdeka, di kabupaten Purworejo dulu tercatat ada tiga gedung pertunjukan, yaitu Bioskop Bagelen, Bioskop Pusaka, dan Purworejo Teater. Akan tetapi, nasibnya juga tak jauh berbeda dari 10 bioskop di Bandar Lampung.

Penyebab gugurnya usaha gedung bioskop di Purworejo beragam. Gedung Pusaka, misalnya, yang gara-gara sepi penonton, pengelola pun berusaha menarik minat penonton dengan memutar film-film panas. Alhasil, gedung itu pun dibakar oleh sekelompok masyarakat muslim.

Jauh sebelum kejadian itu, gedung bioskop Purworejo Teater sudah lebih dulu tumbang karena sepi penonton. Daerahnya kini pun telah dijadikan pemukiman. Sementara gedung Bioskop Bagelen kini menjadi gedung kesenian "Sarwo Edi Wibowo".

Epen Poker

Add Comment

Showbiz News

Thursday, March 31, 2016

About Admin Lycoris

This is dummy text. It is not meant to be read. Accordingly, it is difficult to figure out when to end it. But then, this is dummy text. It is not meant to be read. Period.

Warta Berita Unik

Dulu Primadona, 4 Bioskop Ini Sekarang Jadi Kenangan

About Admin Lycoris

Related Posts